Puisi : Masjid Yang Dilupakan
Masjid-masjid kini bagai istana,
menjulang angkuh di tengah kota,
kubah-kubahnya emas berkilau,
lantainya marmer serupa cermin,
tapi adakah jiwa yang bersujud di dalamnya?
Orang-orang datang, berduyun-duyun,
bukan membawa hati yang haus,
bukan membawa doa yang rindu,
melainkan lensa yang siap membidik,
agar mereka tampak kecil di hadapan kebesaran,
tanpa benar-benar merasa kecil di hadapan Tuhan.
Mereka berjalan di bawah langit-langit yang bertasbih,
namun bibir mereka tak ikut berdzikir.
Mereka melangkah di atas sajadah yang bersaksi,
namun lutut mereka tak pernah bergetar.
Mereka mengagumi kaligrafi di dinding-dinding,
namun ayat-ayatnya tak menyentuh sanubari.
Lalu, di mihrab yang sepi, seorang lelaki tua menangis,
memandangi jamaah yang berpose di depan mimbar,
seakan masjid hanya taman raksasa
dan Tuhan sekadar latar belakang yang indah.
Jangan tanya di mana mereka saat azan memanggil,
mereka masih sibuk memilih filter yang paling cantik.
Jangan tanya ayat apa yang mereka hafal,
mereka hanya mengingat caption yang berbunyi:
"Mengagumi kebesaran-Nya."
sambil menatap layar, bukan langit.
Maka masjid-masjid terus berdiri,
megah, indah, gagah,
tapi kosong,
tak lebih dari monumen yang bisu,
saksi bisu atas doa-doa yang tak pernah benar-benar lahir.
Oleh Ilhan Arya Wiangga, 01 April 2025, Tanjung Pinang.
Komentar
Posting Komentar